máirA,
3 min readDec 20, 2023

Alaric’s family

Kaira membuka pintu apartemennya ketika Gavriel meneleponnya serta ia mendengar suara bel.

Terlihat seorang laki-laki berjas hitam formal dihadapannya. Kaira sedikit terperangah lalu ia mengedipkan matanya. “Masuk..”

Didalam, sebenarnya tidak lama. Kaira hanya tinggal memasukkan barang-barangnya ke dalam tas, lalu ia ke dapur untuk mengambil 2 kopi kaleng dari kulkasnya.

“Nih,” ujarnya memberikan kopi kaleng itu kepada laki-laki yang tengah duduk disofa ruang tamunya. Laki-laki itu hanya mengangguk.

Dan, inilah. Rumah besar ini sekarang benar-benar ada dihadapannya.

Ia gugup, walaupun Raisa sudah mengatakan bahwa ibu dari Marlon sekaligus Gavriel sangat baik dan memperlakukannya seperti anaknya sendiri.

Kaira turun ketika Gavriel sudah memarkirkan mobilnya entah dimana ini.

Ia hanya mengikuti Gavriel dari belakang. Sampai, mereka berdiri didepan sebuah taman.

Kenapa rumah kelas atas sangat besar?!

Tetiba, Gavriel memberhentikan langkahnya dan mengubah posisi tangannya yang ternyata untuk Kaira peluk lengannya.

“Ingat perjanjian nomor 3?” Bisik Gavriel. Kaira hanya mengangguk.

“Bersikap seperti diperjanjian itu,” ujar Gavriel lagi dan Kaira kembali mengangguk.

Perlahan mereka kembali berjalan.

Benar kata Raisa, ibu dari Gavriel ini sangat baik.

Tadinya, ia kira, ia tidak akan diterima disana karena jelas, status keluarga mereka sangat berbanding terbalik. Namun ternyata, keluarga Gavriel ini menerimanya dengan baik.

Saat Kaira sedang duduk sendirian sembari meminum minumannya, Naomi — ibu Gavriel, menghampirinya.

“Kenapa sendirian, sayang?”

Kaira lantas tersenyum kecil, “gapapa, Tante,” balasnya sembari terkekeh.

“Jangan Tante manggilnya dong, Mama aja,” Kaira hanga mengangguk seraya tersenyum canggung.

“Kamu sama Gavriel gimana? Gavriel orangnya gimana? Nakal enggak dia?” Tanya Naomi dengan candaan diakhir.

Kaira tertawa kecil. “Kita baik kok, Ma.. Gavriel juga orangnya baik, dia enggak nakal cuma agak ngeselin aja,” balasnya. Memang benar, kan? Menurutnya Gavriel memang sangat menyebalkan.

Naomi menghela nafas sembari tersenyum. “Dari ketiga anak Mama, cuma Gavriel aja yang ribet kalo masalah pasangan. Dia kayak gak tertarik sama perempuan. Udah beberapa kali Mama jodohin dia, tapi ada aja alasannya. Kayak sekarang, udah mau kepala tiga, tapi baru punya pasangan. Kan terlalu tua punya anak nanti,” cerita Naomi dan diangguki Kaira sambil terkekeh kecil.

“Kaira umurnya berapa, nak?”

“Aku? Aku 25 tahun, Ma,” balasnya.

“Masih muda..,” Naomi menjeda ucapannya, wanita paruh baya itu menatap Kaira lembut, “sudah ada kepikiran nikah? Kalau sama Gavriel, nikahnya dipercepat bagaimana?”

Kaira tiba-tiba merasa kalau jantungnya berdegup kencang. Sedari kemarin ia selalu berdoa semoga tidak sampai menikah. Namun ternyata, ibu dari Gavriel ini memintanya untuk menikah dengan anaknya.

Kaira tersenyum tipis, “kita.. lagi bicarain hal itu, Ma..” ujarnya terkekeh kecil.

Naomi tersenyum, “baik itu, bicarain deh ya,” ujarnya tertawa.

Sedangkan, dari kejauhan, Gavriel mengamati 2 perempuan yang saling mengobrol dibarengi dengan tertawa sesekali.

Gibran — ayahnya, menepuk-nepuk pundaknya. “Pinter kamu cari pasangan, jangan dilepas, langsung iket. Kamu penerus Papa, abangmu biar dilewat dulu, yang penting dia udah tunangan,” ujarnya. Dan Gavriel mengerti hal yang sangat maksud itu.

Ia disuruh menikah. Sedangkan Tristan, nanti dulu, yang penting ia sudah mengikat Bianca dengan tunangan. Dan ia yang paling diutamakan.

Semua itu berjalan baik-baik saja, mereka semua bersenang-senang bersama, sampai saatnya untuk pulang.

“Mama ngomong apa aja sama kamu?” Tetiba Gavriel mendekati Kaira dan berbisik.

Kaira menoleh sebentar, menatap wajah laki-laki yang jauh lebih tinggi dirinya itu. “Lo disuruh nikah, tuh!” Serunya pelan.

“Katanya, jangan lama-lama ngejomblo! Lo udah tua! Mau kepala tiga, ketuaan buat jadi orang tua. Katanya gitu,” jelas Kaira.

“Kita beda 3 tahun aja, Kaira,”

“Sama aja! Tahun besok lo 29 kan? Tua itu! Gue tahun besok 26,” ujar Kaira meledek.

Gavriel menghela nafas. “Bulan depan kita nikah, gimana?”

Kaira langsung menoleh kearahnya. “Gila lo, ya!”

“Tadi, kata kamu saya disuruh menikah, lagipula hanya sebatas status. Kamu tetap bisa melakukan aktivitas kamu sendiri, hanya ada yang berbeda sedikit nanti,” ujar Gavriel.

“Kerja di kafe?”

“Saya sudah memberikan kamu uang tiap bulan nanti, gak perlu kerja disana lagi,” ujar Gavriel. Kaira mendecih.

Setelahnya, mereka pulang di jam setengah 10 malam.